SELAMAT DATANG DI :

SELAMAT DATANG DI :

BULAN BAHASA - CerPen "GELANG AKIK DI KAMAR MANDI"

“GELANG AKIK DI KAMAR MANDI”

Karya : Dirham Adenar

           

            Menjelang subuh tadi, rupanya menyayat hati penghuni kampung Rawa Lele sebab tak disangka-sangka rupanya Pak Haji Jamal meninggal dunia. Kabar kematiannya menyebar sangat cepat bagaikan daun yang lepas dari tangkainya. Tidak ada yang tahu bagaimana sebab akhir dari kematian Pak Haji Jamal, kecuali istri pertamanya, Bu Asih.

            Di rumah duka, telah hadir ratusan pelayat. Hampir seluruhnya terisak ketika berkunjung ke rumah Pak Haji Jamal. Tenda sederhana dan bendera berwarna kuning sudah di pasang. Nuansa mawar hitam rupanya tertular ke semesta ketika gerimis kecil menyergap bersama mendung. Hanya lantunan pembacaan Surah Yasin yang ternyiar begitu syahdu – menyentuh kalbu – membuat basah kuyup kedua sudut mata saya.

            Saya mengerti tentang arti sebuah kehilangan. Sebuah kehilangan yang mengajarkan saya tentang arti pergi dan kembali. Dari ada menjadi tiada membuat jiwa saya terpukul mendengar berita Pak Haji Jamal berpulang. Kabar itu begitu menghujam telinga saya dari sebuah sambungan telepon milik tetangga saya – Mas Nugi – yang mengabarkan perihal ayah saya yang kini telah tiada. Sontak saya tak berdaya, jantung seakan terlontar jauh mendengar kabar itu sampai membuat ponsel saya terpelanting.

            Kepada saya, seorang tetangga menegur, “Mas, itu Bu Marza sudah datang.”

            Saya melihat Bu Marza, istri kedua ayah saya yang datang membawa kembang kematian. Dari raut wajahnya, ia turut merasakan duka yang teramat dalam. Pipinya sudah dibanjiri air mata. Dia kemudian memeluk saya, lalu mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya. Selanjutnya, Bu Marza masuk rumah duka, menghampiri jasad Pak Haji Jamal yang telah terbujur damai. Tangis histeris menyambutnya seolah tak percaya atas kepergian suami tercinta. Bu Marza pun mengecup kening dan memeluk jasad Pak Haji Jamal sebagai tanda penghormatan terakhir.

            Tidak beberapa lama kemudian, istri ketiga Pak Haji Jamal, Bu Siska datang dengan membawa payung kematian. Tidak ada sembab sedikit pun dari sepasang matanya. Dalam hatinya mungkin saja lara dan menyembunyikan tangis, tetapi sekali lagi ia tidak memperlihatkan kesedihannya. Saya mengenal sosok Bu Siska yang penuh ketegaran. Pernah suatu ketika, anak sulungnya meninggal dunia. Saya pun melayat ke rumahnya, namun Bu Siska tidak mengeluarkan air mata sedikit pun.

            Tiba-tiba saja, seseorang membangunkan lamunan saya, “Maaf, Mas, bukannya ayah anda sehat-sehat saja kemarin?” tanya tetangga saya, namanya Pak Daenuri.

            “Saya rasa begitu,  kemarin saja saya sempat datang ke sini,” jawab saya pelan.

            “Kalau boleh tau, bagaimana kronologi kematian Pak Haji Jamal?”

            Saya terdiam sebentar, lalu menjawab, “Saya tidak tahu, Pak. Tadi malam saya tidak menginap di rumah ayah saya.”

            “Apa karena kecelakaan yang membuat Pak Haji Jamal wafat?” tanya tetangga saya yang lain, tidak lain dia adalah Bu Suci.

            “Entahlah, saya tidak tahu-menahu.”

            Mungkin karena mendengar percakapan saya dan diliputi penasaran, seorang kakek bernama Dwi Maryanto yang duduk di disebelah saya menegur dengan pertanyaan semacam ini, “Apakah ayahmu meninggal karena penyakit?”

            “Saya tidak yakin, tetapi setahu saya, Ayah saya tidak mengidap penyakit menjelang hari kematiannya.”

            “Kalau begitu, saya turut prihatin ya, Mas.”

            “Ya, saya juga,” ucap yang lain.

             Begitu banyak orang yang mencecar pertanyaan kepada saya. Ya, saya  mengerti tentang sebuah ucapan belasungkawa yang bertabur begitu banyaknya. Saya masih ingat tentang memori kehidupan bersama mendiang ayah saya. Peran penting, perjuangan dan pengabdian bagi keluarga yang ayah saya telah lakukan hingga gugur di usia yang cukup senja. Mata batin saya pun seolah bisa merekam sekaligus merasakan kehadiran ayah di sekitar sini. Saya masih ingat ketika senyumnya mekar dan dengan sungguh-sungguh menanamkan kepada saya tentang arti hidup dan mati, bahkan dua minggu sebelum meninggal – ketika berdagang gelang akiknya – ayah saya pernah berpesan, “Menjelang kehidupan baru dan jika sudah waktunya, maka kita tidak dapat mencurangi takdir.”

            ***

            Tujuh hari kemudian, malam terakhir acara Yasinan digelar, ibu saya ternyata masih enggan menceritakan kronologi kematian ayah kepada para warga kampung yang hadir, bahkan kepada saya, Bu Marza dan Bu Siska sekali pun. Beruntung, tidak beberapa lama, saya punya ide. Saya tiba-tiba teringat pada gelang akik. Ya, ayah saya adalah penjual gelang akik sejak satu bulan sampai akhir hayatnya. Saya kemudian membujuk ibu saya sampai pada akhirnya ia menceritakan dengan jelas sebab kematian Pak Haji Jamal.

            “Gelang akiklah yang membuat suami saya meninggal,” ujar Bu Asih.

            “Kenapa dengan gelang akik itu, Bu?”

            “Ya, kenapa Bu?” saya ikut penasaran.

            Namun, ibu saya malah menunjuk kamar mandi. Saya bergidik dan semua ikut tercengang mengetahui pernyataan ibu saya tadi. Semua diliputi rasa tanya pula.

            Dan malam itu, Ramadhan, anak yang terlahir dari Bu Siska tiba-tiba melontarkan pertanyaan, “Apa mungkin Pak Haji Jamal meninggal karena terpeleset di kamar mandi?”

            Lalu, saya berusaha menyimpulkan dan bertanya pula, “Terpeleset di kamar mandi ketika hendak mengambil gelang akik yang jatuh?”

            Bu Asih secara perlahan mengangguk, lalu air matanya tumpah semakin deras. Semua kaget sekaligus puas mengetahui jawaban tentang penyebab kematian Pak Haji Jamal.

            Saat semua warga pulang dari acara tahlilan, sebenarnya saya ingin masuk kamar mandi itu dan mencari-cari gelang akik milik ayah yang kemungkinan masih tertinggal, namun urung karena masih diliputi rasa ngeri. Apalagi sampai saat ini, kamar mandi itu masih dikunci rapat-rapat oleh ibu saya, maka semuanya tidak bisa masuk ke kamar mandi, kecuali mendapati kunci gemboknya.

            Hingga akhirnya tengah malam, sepupu saya, Hamid yang kebetulan menginap di hari itu dengan berani mencongkel pintu kamar mandi dengan linggis. Karena tidak bisa, akhirnya mencari cara untuk membuka gembok itu. Diam-diam Hamid masuk kamar ibu saya tanpa izin, lalu membuka laci hingga berhasil menemukan kunci gembok yang bertuliskan kamar mandi. Hamid bertanya-tanya mengapa Bu Asih merahasiakan kamar mandi. Hamid keheranan setengah mati sampai tidak disadari termangu sendiri, lalu tanpa sengaja menjatuhkan vas bunga.

            Suara vas bunga yang pecah itu menimbulkan Bu Asih terjaga. Hamid hendak berlari tapi celakanya, serpihan beling vas bunga itu menancap di salah satu telapak kakinya. Bu Asih segera menghampiri dan memergoki Hamid mencuri kunci gembok itu.

            “Kembalikan kunci gembok itu, Hamid!” bentak Bu Asih sambil menarik lengan Hamid.

            “Tidak, aku tidak akan mengembalikan kunci ini.”

            Hamid segera menepis genggaman jemari Bu Asih, lalu mendorong Bu Asih hingga tersungkur ke lantai. Bu Asih kemudian segera bangkit, lalu menjambak rambut Hamid dengan kekuatan super, tetapi Hamid pun mendorong kembali sampai Bu Asih terbentur lemari. Bu Asih yang merasakan pening dan tidak bisa bangkit lagi itu kemudian mencakar kaki Hamid, namun anehnya Hamid tidak kesakitan. Barulah ketika Bu Asih berteriak minta tolong, Hamid langsung membekap mulut Bu Asih hingga pingsan. Agar tidak ada yang mencurigai tindakannya, Hamid menyeret Bu Asih kemudian menyekapnya ke dalam gudang. Tidak hanya itu, Hamid pun memasung sepasang kaki, mengikat kedua tangan dan membekap mulut Bu Asih dengan gombal. Selesai, pintu gudang pun ia kunci rapat-rapat. Puas menganiaya Bu Asih, Hamid tersenyum licik dan sebentar lagi ia akan mengetahui rahasia di balik kamar mandi.

            Hamid segera membuka pintu kamar mandi dan masuk tanpa membaca doa. Hamid melangkah dengan gontai saja. Dia menemukan gelang akik di bibir bak mandi. Hamid masuk tanpa ada rasa ngeri, lalu melihat lampu kamar mandi yang memang agak redup dan sarang laba-laba bertebaran cukup banyak. Sambil mengenggam gelang akik itu, ia dengan pasti melangkahkan kakinya, ternyata kamar mandi ini tidak licin. Ia bertanya dalam hatinya mengapa Pak Haji Jamal bisa terpeleset? Tidak beberapa lama, lampu kamar mandi tiba-tiba saja padam setelah Hamid menggunakan gelang akik itu. Sontak membuat Hamid kaget bukan kepalang hingga akhirnya terpeleset. Badan dan kepalanya terbanting begitu keras. Seketika Hamid merasa pusing, sepusing-pusingnya, lalu tidak lama kemudian matanya terpejam.

            Hamid segera dilarikan ke rumah sakit. Di ruang gawat darurat tepatnya, ia masih dalam keadaan kritis. Semua menjenguk, termasuk saya. Barulah setelah beberapa hari, Hamid bisa membuka matanya dan berbicara dengan amat lirih dan agak terbata-bata. Namun, kata pertama yang ia lontarkan adalah, “Kamar mandi ....”

            “Kenapa dengan kamar mandi?”

            Hamid menarik nafas sedalam-dalamnya, “Kamar mandi... itu yang kurang terawat...., Beri pegangan besi atau baja... pada dinding kamar mandi....”

            Semuanya terperangah dengan mulut menganga mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Hamid yang sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Sontak membuat seisi ruangan ini makin senyap tanpa ada sepatah kata lagi dan tiba-tiba sepasang mata pecah.

           

                                                                                                                                                                                                                                                Jakarta, 08 Agustus 2015

 

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, waktu dan peristiwa ataupun  cerita, hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Like, Share, Kritik dan Saran (Komentar) sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas karya di masa yang akan datang

Terima kasih atas kunjungannya

 

           

           

           

           

           

           

 

           

 

0 Response to "BULAN BAHASA - CerPen "GELANG AKIK DI KAMAR MANDI""

Post a Comment